Sebagian orang Karo, Angkola, dan Mandailing
tidak menyebut dirinya sebagai bagian dari suku Batak. Wacana itu
muncul disebabkan karena pada umumnya kategori "Batak" dipandang rendah
oleh bangsa-bangsa lain. Selain itu, perbedaan agama juga menyebabkan
sebagian orang Tapanuli tidak ingin disebut sebagai Batak. Di pesisir
timur laut Sumatera, khususnya di Kota Medan,
perpecahan ini sangat terasa. Terutama dalam hal pemilihan pemimpin
politik dan perebutan sumber-sumber ekonomi. Sumber lainnya menyatakan
kata Batak ini berasal dari rencana Gubernur Jenderal Raffles yang
membuat etnik Kristen yang berada antara Kesultanan Aceh dan Kerajaan
Islam Minangkabau, di wilayah Barus Pedalaman, yang dinamakan Batak.
Generalisasi kata Batak terhadap etnik Mandailing (Angkola) dan Karo,
umumnya tak dapat diterima oleh keturunan asli wilayah itu. Demikian
juga di Angkola, yang terdapat banyak pengungsi muslim yang berasal dari
wilayah sekitar Danau Toba dan Samosir, akibat pelaksanaan dari
pembuatan afdeeling Bataklanden oleh pemerintah Hindia Belanda, yang
melarang penduduk muslim bermukim di wilayah tersebut.
Konflik terbesar adalah pertentangan antara masyarakat bagian utara Tapanuli dengan selatan Tapanuli, mengenai identitas Batak dan Mandailing. Bagian utara menuntut identitas Batak untuk sebagain besar penduduk Tapanuli, bahkan juga wilayah-wilayah di luarnya. Sedangkan bagian selatan menolak identitas Batak, dengan bertumpu pada unsur-unsur budaya dan sumber-sumber dari Barat. Penolakan masyarakat Mandailing yang tidak ingin disebut sebagai bagian dari etnis Batak, sempat mencuat ke permukaan dalam Kasus Syarikat Tapanuli (1919-1922), Kasus Pekuburan Sungai Mati (1922),dan Kasus Pembentukan Propinsi Tapanuli (2008-2009).
Dalam sensus penduduk tahun 1930 dan 2000, pemerintah mengklasifikasikan Simalungun, Karo, Toba, Mandailing, Pakpak dan Angkola sebagai etnis Batak
Konflik terbesar adalah pertentangan antara masyarakat bagian utara Tapanuli dengan selatan Tapanuli, mengenai identitas Batak dan Mandailing. Bagian utara menuntut identitas Batak untuk sebagain besar penduduk Tapanuli, bahkan juga wilayah-wilayah di luarnya. Sedangkan bagian selatan menolak identitas Batak, dengan bertumpu pada unsur-unsur budaya dan sumber-sumber dari Barat. Penolakan masyarakat Mandailing yang tidak ingin disebut sebagai bagian dari etnis Batak, sempat mencuat ke permukaan dalam Kasus Syarikat Tapanuli (1919-1922), Kasus Pekuburan Sungai Mati (1922),dan Kasus Pembentukan Propinsi Tapanuli (2008-2009).
Dalam sensus penduduk tahun 1930 dan 2000, pemerintah mengklasifikasikan Simalungun, Karo, Toba, Mandailing, Pakpak dan Angkola sebagai etnis Batak
0 komentar:
Posting Komentar