Minggu, 13 November 2011

Penjahat no 1 Medan Insyaf (anton Medan)

Dulu, sosok Anton Medan lekat dengan kriminalitas. Pria kelahiran Tebing tinggi itu adalah mantan perampok dan bandar judi. Namun, ia kini telah insyaf. Setelah memeluk Agama Islam pada 1992, belakangan ia justru kerap berceramah sebagai da'i. 

Di bulan Ramadan ini, kegiatan Anton Medan tak kalah padat dengan para penceramah lainnya. Tadi malam misalnya, ia mengisi pengajian di Lembaga Pemasyarakatan Paledang, Bogor.

Pria bernama asli Tan Hok Liang itu tak menemui kesulitan ketika masuk LP Paledang."Saya Anton Medan, bersama tamu yang saya bawa, wartawan, saya mau mengisi ceramah disini," ujar Anton Medan kepada petuga LP semalam.

Sapaannya melalui lubang di pintu gerbang Lapas disambut baik para petugas, yang langsung membukakan pintu untuknya.
Mengenakan pakaian muslim ala China, warna hijau, Anton Medan, didampingi istrinya, menyalami sekitar 1.050 tahanan dan napi LP Paledang yang menyambutnya antusias.

Memulai ceramahnya sekitar pukul 20.00 WIB, Anton Medan menyapa para binaan Lapas dan mengingatkan untuk menjaga tarawih dan tadaruz di bulan Ramadan.

"Mungkin di sini, yang muda-muda tidak kenal saya. Saya asli warga binaan, saya sudah merasakan dipukuli dan pahitnya dalam penjara, saya bisa taubat, kalian pun bisa seperti saya, bisa tidak? Alhamdulillah," ujar Anton Medan, saat pendengarnya meneriakkan kata 'Bisa', Selasa malam 9 Agustus 2011.

Pemilik Masjid Jami' Tan Hok Liang itu menceritakan, ia mendapat hidayah saat bertemu KH Zainuddin MZ. "Saya dulu penjahat, bajingan, dan semua ada di saya. Toko mas mana yang tidak saya rampok waktu itu," kata Anton Medan. "Saya sudah merasakan tinggal di dalam penjara total 18 tahun 7 bulan, keluar masuk penjara dengan kasus yang berbeda, disini saya mau semua napi bisa bertaubat dan tidak mengulangi kesalahannya lagi," ujar pria pengagum Buya Hamka ini.
Selama satu jam, Anton memberikan tausyiah di dalam LP Paledang. Ia mengaku puas berbagi pengalaman bersama para napi, sehingga amplop berisi uang yang diberikan kepala Lapas atau kepala Rutan kerap ia tolak. "Saya ikhlas dalam memberikan ceramah, karena saya merasakan kepuasan tersendiri berada di depan mereka (napi)," kata Anton.

sumber :: http://nasional.vivanews.com/news/read/239522-kisah-anton-medan--dulu-napi--sekarang-da-i

Sabtu, 12 November 2011

Ekspor Karet Sumut 2,764 Miliar Dolar AS


Medan, 9/11 (ANTARA) – Nilai ekspor karet Sumatera Utara hingga triwulan III tahun ini melonjak tajam 64,07 persen dibandingkan periode sama 2010 atau mencapai 2,764 miliar dolar AS.
“Kenaikan nilai devisa itu menggembirakan, karena harga ekspor dalam beberapa bulan terakhir semakin melemah akibat krisis ekonomi di Amerika Serikat dan Eropa,” kata Sekretaris Eksekutif Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) Sumatera Utara (Sumut),Edy Irwansyah, di Medan, Rabu.
Kenaikan devisa di 2011 dari 2010 yang masih 1,684 miliar dolar AS itu dipicu naiknya harga ekspor karet dan barang dari karet.
Harga ekspor karet SIR20 misalnyam rata-rata berada di kisaran empat dolar AS per kg.
Jadi, meski harga jual dewasa ini berfluktuasi dengan semakin melemah di bawah empat dolar AS per kg, total nilai ekspor golongan barang itu sudah cukup tinggi dibandingkan tahun lalu.
Melalui kondisi pasokan ketat khususnya dari Thailand yang sedang mengalami musibah banjir, kata dia, ada harapan harga naik lagi.
Apalagi, International Rubber Consortium Limited tetap menyatakan serius melakukan tindakan pengurangan ekspor kalau harga karet alam tetap berada di bawah empat dolar AS per kg.
Pedagang karet Sumut, M.Harahap, menyebutkan, pasokan getah karet dari petani di Sumut bahkan di daerah lain di Sumatera sangat ketat.
Pasokan ketat dipicu kesulitan menderes akibat musim hujan di hampir semua sentra produksi.
“Pasokan ketat membuat harga Bokar (bahan olah karet) di pabrikan relatif tetap mahal di kisaran Rp31.000 per kg, padahal seyogyanya lebih murah dari harga itu karena harga ekspor berfluktuasi cenderung turun,”katanya.

Sumber :  http://www.antarasumut.com/berita-sumut/ekspor-karet-sumut-2764-miliar-dolar-as/

Selamatkan Gedung Bersejarah di Kota Medan Sekarang



Medan,31/5 (antarasumut.com)- Puluhan orang dari berbagai elemen pembela gedung bersejarah dan pecinta gedung tua sepakat mendirikan organisasi bernama Dewan Kota Masyarakat Sipil.
Organisasi tersebut dimaksudkan sebagai wadah gerakan sosial masyarakat untuk melestarikan bangunan tua dan bersejarah di Medan. Kehadiran organisasi ini juga sebagai reaksi atas aksi penghancuran bangunan bersejarah yang belakangan marak terjadi di Kota Medan.
Menurut salah seorang aktifis Dewan Kota Masyarakat Sipil, Tikwan Raya Siregar kepada antarasumut.com, Senin, berdirinya organisasi tercetus dalam pertemuan di hall Rahmat International Wildlife Gallery, Sabtu 29 Mei 2010.
“Pertemuan itu sendiri untuk menggalang komitmen, memberikan reaksi, serta perencanaan aksi berkelanjutan, menyusul perubuhan bangunan tua yang semakin gencar di Kota Medan baru-baru ini. Kita ingin mengajak seluruh elemen masyarakat Medan untuk menyelamatkan bangunan bersejarah mulai sekarang,” katanya.
Setelah mufakat melembagakan gerakan di bawah organisasi bernama Dewan Kota Masyarakat Sipil, para peserta sempat turun melakukan aksi unjuk rasa ke lokasi bangunan terakhir yang dirubuhkan, yaitu dua gedung di sudut Jalan Gwangju-Ahmad Yani, Kesawan.
Sebelumnya, Anggota DPD RI dari Sumut, Rahmat Shah, selaku fasilitator pertemuan mengimbau agar gerakan yang dilembagakan ini dapat menyatukan elemen-elemen yang selama ini melakukan aksi secara parsial. “Kita tidak bisa berharap terlalu banyak pada pejabat di Kota Medan, oleh karena itu perlu gerakan sosial yang tertib dan damai,” ungkapnya.
Ia juga menekankan bahwa perubuhan gedung yang telah masuk dalam Perda bukan lagi bersifat delik aduan. Oleh sebab itu, pihak kepolisian dapat bertindak dengan menangkap langsung pelaku utama perubuhan gedung tersebut.
“Semestinya polisi tak menunggu lagi, sebab ini pidana. Sedangkan untuk melindungi bangunan yang belum masuk dalam daftar Perda, kita harus segera melakukan inventarisasi seluruh aset bersejarah di Sumatera Utara, dan mendorong dilakukannya revisi Perda sesegera mungkin,” tambahnya.
Dalam pertemuan tersebut, hadir para pengurus BWS, sejarahwan Ichwan Azhari, Dirk Buiskool, sosiolog Bungaran A. Simanjuntak, Kepala Departemen Sejarah USU Ratna, Inside Sumatera, pemerhati lingkungan Jaya Arjuna, pengurus Ikatan Arsitektur Indonesia (IAI) Medan, PUSSIS-UNIMED, para mahasiswa Jurusan Sejarah dari UNIMED, Universitas Sumatera Utara, dan sejumlah pecinta sejarah Kota Medan.
Sekretaris BWS, Rika Susanto, menyebutkan, program-program gerakan penyelamatan gedung warisan, tidak selamanya diartikan sebagai pelarangan terhadap perubuhan bangunan tua. Namun, menurutnya, ada aturan dan prosedur yang harus dipatuhi semua pihak, terutama pemerintah kota, untuk melakukan pembangunan.
“Lihatlah misalnya gedung Balaikota di Hotel Aston, Lonsum, Kantor PTPN IV, dan aset bersejarah milik H. Anif Shah. Aston, misalnya, mereka tidak merubuhkan gedung lama, tapi tetap bisa membangun hotel berbintang lima di belakangnya.
Ke depan, kita sebenarnya tidak hanya melakukan gerakan penentangan, tapi juga akan memberikan penghargaan kepada pihak-pihak yang turut melestarikan bukti-bukti sejarah dan identitas kota,” paparnya.
Ia juga menegaskan bahwa lembaga Dewan Kota Masyarakat Sipil akan berjuang untuk mendesak pemerintah memberikan insentif dan keistimewaan kepada pihak yang melestarikan bangunan bersejarah.
Pada saat yang sama, Ichwan Azhari selaku salah seorang formatur pembentukan Dewan Kota Masyarakat Sipil menegaskan, pihaknya akan melakukan aksi dan tekanan yang lebih militan terhadap pihak-pihak yang masih ingin melakukan perubuhan bangunan tanpa melewati prosedur yang seharusnya.(rel)

sumber ::  http://www.antarasumut.com/berita-sumut/selamatkan-gedung-bersejarah-di-kota-medan-sekarang/

Legenda Sipiso Somalim

Dahulu kala hiduplah seorang raja di daerah Rura Silindung yang bernama Punsahang Mataniari-Punsahang Mata ni Bulan, Raja yang sangat makmur dan kaya raya. Raja ini mempunyai seorang saudara putri yang bernama siboru Sandebona yang kemudian kawin dengan raja Panuasa dari kampung Uluan.Suatu saat Siboru sandebona mengandung seorang anak laki-laki, akan tetapi setelah genap waktunya bayi ini tidak kunjung lahir, kemudian Siboru Sandebona kebingungan, lalu menemui seorang dukun sakti untuk menanyakan apa yang bakal terjadi dengan anak yang ada di dalam kandungannya. Dusun sakti kemudian memberikan jawaban bahwa bayi ini akan menjadi seorang laki-laki yang memiliki kharisma dan kelebihan tersendiri.
Begitulah setelah lahir, bayi ini diberi nama Sipiso Somalim. Setelah dewasa Sipiso Somalim sudah menunjukkan kelebihan tersendiri dalam kehidupan sehari-harinya. Pada suatu saat dia disuruh orangtuanya untuk membajak sawah dengan menggunakan tenaga kerbau, dia hanya duduk tenang, namun kerbau ini dapat disuruhnya bekerja sendiri untuk membajak sawah itu. Dalam sikapnya terhadap orang-orang sekitarnya, dia sangat sopan dan berbudi baik. Bahkan semua tindak tanduknya mencerminkan sikap seorang anak-raja.
Pada usia sudah matang, Sipiso Somalim tetap saja pada pendiriannya untuk meminang putri pamannya, ibunya tidak kuasa lagi menolak permintaan Sipiso Somalim. Lalu suatu ketika ibunya memberangkatkan Sipiso Somalim yang didampingi seorang pengawalnya yaitu Sipakpakhumal.
Dengan mengenakan pakaian kebesaran serta bekal secukupnya termasuk “Pungga Haomasan” (obat penangkal lapar dan haus), Sipiso Somalim berangkat menuju kampung pamannya Rura Silindungdn menelusuri hutan lebat, dengan jalan yang penuh resiko, seperti ancaman dari binatang buas mereka pun berjalan hingga suatu hari tiba pada sebuah pancuran yang sangat sejuk. Melihat sejuknya air pancuran ini, Sipiso Somalim meminta agar mereka berhenti dan mandi untuk melepas rasa letih. Kemudian dia menanggalkan pakaian kebesarannya dan selanjutnya meminta Sipakpakhumal untuk menjaganya.
Adapun Sipakpakhumal sejak keberangkatannya dengan Sipiso Somalim sudah memiliki niat jahat bagaimana agar dia dapat berperan sebagai Sipiso Somalim agar selanjutnya dapat memperistri putri Punsahang Mataniari. Maka dengan diam-diam dia mengenakan pakaian kebesaran Sipiso Somalim seperti layaknya seorang raja. Karena asiknya Sipiso Somalim mandi, dia tidak menghiraukan apa yang telah diperbuat Sipakpakhumal tadi. Setelah siap mandi betapa terkejutnya Sipiso Somalim menyaksikan Sipakpakhumal yang telah mengenakan pakainnya, dan sama sekali dia tidak dapat berbuat apa-apa, karena dengan pakaian ini kharisma Sipiso Somalim langsung pindah Sipakpakhumal.
Sipakpakhumal kemudian dengan menghunus pedang, dan suara lantang berkata, “sejak sekarang ini sayalah yang menjadi Sipiso Somalim dan kau menjadi Sipakpakhumal, kita akan terus menuju kampung Pusahang Mataniari dan jangan sekali-kali bicara pada siapapun bahwa aku telah menggantikanmu sebagai Sipiso Somalim, dan apabila hal ini kau ceritakan pada siapapun kau akan kubunuh, mengerti,” . Mendengar semua ini Sipiso Somalim tidak dapat bebuat apa-apa kecuali hanya tunduk serta menerima apa yang terjadi.
Perjalananpun dilanjutkan dan sejak itu, Sipiso Somalim dipanggil menjadi Sipakpakhumal dan demikian sebaliknya, Sipakpakhumal menjadi Sipiso Somalim. Selama dalam perjalanan, Sipakpakhumal yang sebelumnya adalah Sipiso Somalim tetapmenunjukkan sikap baik pada Sipiso Somalim, dan selama itu pula Sipakpakhumal tidak habis piker bagaimana perasaan ibu yang dia tinggalkan sebab sebelum berangkat dia berpesan kepada ibunya agar ibunya memperhatikan sebatang pohon yang dia tanam di dekat rumahnya, apabila pohon itu layu berarti dia mendapat kesulitan di tengah jalan, dan apabila mati maka dia telah mati diperjalanan.
Setelah berjalan beberapa hari akhirnya mereka tiba di Rura Silindung tempat Punsahang Mataniari-Punsahang Mata ni Bulan. Meilhat Sipiso Somalim datang Punsahang Mataniari terus tahu bahwa dia adalah anak saudarinya yaitu Siboru Sandebona. Lalu dengan langsung dia memeluk Sipiso Somalim meskipun sebenarnya dia memiliki firasat bahwa ada yang kurang beres dengan keponakannya itu, tetapi mereka tidak menunjukkan bahkan memperlakukannya Sipiso Somalim seperti keluarganya sendiri. Adapun Sipakpakhumal yang merupakan Sipiso Somalim yang sebenarnya tetap diam dan tidak berani berbuat apa-apa dan dia diperlakukan sebagai layaknya seorang pembantu.
Lama kelamaan Sipakpakhumal yang mengaku sebagai Sipiso Somalim makin menunjukkan sikap yang kurang baik terhadap keluarga pamannya maupun kepada Sipakpakhumal. Sebagaimana tujuan keberangkatan Sipiso Somalim untuk meminang putri pamannya, suatu ketika dia menyampaikan hasrat tersebut kepada pamannya. Akan tetapi untuk sementara, pamannya menolak dengan cara halus dengan alasan agar jangan terburu-buru dulu. Semua ini tentu karena pamannya makin hari makin curiga terhadap Sipakpakhumal yang mengaku sebagai Sipiso Somalim.
Rasa gelisah tetap menyelimuti hati ibu Sipiso Somalim, di kampung halaman, lalu kemudian dia kembali mengirimkan seekor kerbau yang bernama “Horbo Sisapang Naualu”. Ketika kerbau ini sampai Punsahang Mataniari memanggil Sipiso Somalim untuk mengiring kerbau ini kekandang. Akan tetapi saat dia mendekat kerbau ini mengamuk dan hampir menanduk Sipakpakhumal. Dengan kejadian ini, Punsahang Mataniari semakin menyadari bahwa ada yang tidak beres diantara Sipiso Somalim dan Sipakpakhumal. Kemudian Punsahang Mataniari memanggil Sipakpakhumal untuk mengiring kerbau tadi. Pada saat Sipakpakhumal mendekat, kerbau ini langsung mendekat seperti bersujud.
Kedatangan kerbau ini, bagi Sipakpakhumal mengetahui bahwa itu sengaja dikirim oleh ibunya dari kampung halaman. Sehingga pada saat dia menggembalakan kerbau ini di sawah dia membuka tanduk kerbau ini ternyata di dalamnya terdapat berbagai jenis alat musik dan perhiasan kerajaan sementara kerbau ini membajak sawah, dia memainkan alat-alat musik tadi sehingga karena merdunya segenap burung yang terbang diangkasa turut bernyanyi ria.
Pada siang hari, datanglah putri Punsahang Mataniari untuk mengantar makanan Sipakpakhumal. Setelah dekat, dia sangat terkejut mendengar musik yang sangat merdu yang diiringi oleh nyanyi ria yang banyak bertengger diatas dahan, ternyata yang memainkan musik ini adalah Sipapakhumal. Lebih terkejut lagi, pada saat dia memperhatikan bahwa kerbau tersebut membajak sawah tanpa digembalakan Sipakpakhumal.
Dengan rasa gugup dan ketakutan, Sipakpakhumal menerima makanan itu dari putri Punsahang Mataniari, dasar curiga, putri Punsahang Mataniari pamit seolah-olah pulang ke rumah akan tetapi dia bersembunyi dibalik sebuah pohon besar untuk mengamati dari dekat tindak tanduk Sipakpakhumal. Sipakpakhumal merasa bahwa putri Punsahang Mataniari sudah jauh lalu diambilnya nasi tersebut dan ditaburkannya untuk makanan burung yang semuanya mengelilingi Sipakpakhumal. Kemudian dia merogoh kantongnya dan mengambil sebuah benda kecil yang disebut “pungga haomasan”.
Pungga haomasan ini kemudian dicium dan dijilat lalu seketika itu dia kenyang sebagaimana layaknya makan nasi. Pungga haomasan ini diberikan ibunya saat dia berangkat dahulu dan sampai saat itu tetap berada ditangannya. Sehingga selama ini pun Punsahang Mataniari sebenarnya juga curiga karena pengetahuannya Sipakpakhumal tidak pernah makan tetapi tetap mengaku kenyang. Menyaksikan semua apa yang terjadi putri Punsahang Mataniari cepat-cepat menemui dan memberitahukan apa yang dia saksikan kepada ayahnya Punsahang Mataniari, dan ayahnya pun semakin yakin bahwa Sipakpakhumal yang dijadikan pembantu adalah Sipiso Somalim yang sebenarnya.
Sementara itu, Sipakpakhumal yang mengaku Sipiso Somalim semakin mendesak pamannya agar dia dikawinkan dengan putri pamannya. Hingga pada suatu ketika, pamannya mempertanyakan kepada putrinya yang paling sulung agar berkenan menerima Sipakpakhumal yang mengaku sebagai Sipiso Somalim menjadi suaminya akan tetapi dia menolak permintaan itu. Kemudian Punsahang Mataniari menawarkan kepada anak perempuannya nomor dua dan ternyata putrinya itu mau. Lalu malalui upacara adat mereka dikawinkan.
Putri sulung Punsahang Mataniari meminta kepada ayahnya untuk menggelar upacara dengan membunyikan seperangkat musik dan mengundang semua pemuda yaitu anak raja-raja yang berada disekeliling kampungnya. Untuk menari dan dia ingin memilih salah satu dari antara mereka untuk menjadi suaminya. Acara sudah digelar akan tetapi tak satu orangpun dari pemuda itu berkenan di hati putrinya Punsahang Mataniari, namun diluar dugaan, tiba-tiba seorang pemuda menunggang kuda dan berpakaian kerajaan tiba-tiba muncul dipesta itu, semua orang tercengang dan seketika itu pula pemuda itu meninggalkan pesta itu.
Dengan kehadiran pemuda itu, sang putri mengatakan kepada ayahnya bahwa dia sangat tertarik kepada pemuda tersebut dan meminta kepada ayahnya agar dia menyuruh para pengawal untuk mencari asal pemuda tadi. Para pengawalnyapun mengikuti jejak pemuda tadi dan akhirnya mereka tiba pada suatu tempat yaitu tempatnya Sipakpakhumal untuk mengembalakan ternak tuannya. Para pengawalmya heran sebab ada tanda-tanda bahwa Sipakpakhumal lah lelaki yang baru saja hadir di pesta itu, karena sesaat setelah Sipakpakhumal berada di gubuknya lalu ia menukar pakaiannya seperti semula dan pakaian kebesaran itu adalah pemberian ibunya yang dikirimkan melalui kerbau itu dan setelah dia sampai dipondoknya, pakaian kebesaran itupun ditanggalkan dan memakai pakaian biasa.
Para pengawal kemudian kembali dan melaporkan kepada Punsahang Mataniari bahwa mereka telah tidak menemukan jejak pemuda itu. Dengan hati tidak sabar, Punsahang Mataniari kemudian memangil si Piso Somalim serta bertanya apa yang pernah terjadi antara mereka berdua. Karena Punsahang Mataniari mengancam akan membunuh apabila dia bohong maka Si Piso Somalim mengaku dengan terus terang apa yang telah dia lakukan terhadap Sipakpakhumal sehingga Sipiso Somalim yang sebenarnya akhirnya dijadikan sebagai Sipakpakhumal dan demikian juga sebaliknya.
Dengan perasaan berang sebenarnya ingin menghukum Sipakpakhumal ini, akan tetapi karena Punsahanng Mataniari sadar bahwa Sipakpakhumal telah terlanjur menantunya sehingga dia tidak dapat berbuat apa-apa.Begitupun karena Sipakpakhumal menyadari kesalahannya dan merasa hidupnya akan terancam, besok harinya pada pagi-pagi buta dia melarikan diri beserta istrinya yang menurut cerita berangkat menuju Sumatera Timur.
Pada kedua kalinya, atas permintaan putri Punsahang Mataniari, kembali digelar acara adat dengan membunyikan seperangkat alat musik, dan pada saat acara berakhir tiba-tiba seorang pemuda dengan menunggang kuda “Siapas Puli” kembali hadir setelah menari-nari sejenak akhirnya menghilang. Baik Punsahang Mataniari maupun putri sulung menganggap bahwa yang datang itu adalah Sipiso Somalim yang sebenarnya dan yang selama 7 tahun telah terlanjur mereka jadikan sebagai pembantu dan semua ini adalah atas ulah dari kebohongan Sipakpakhumal yang selama ini mengaku sebagai Sipiso Somalim.
Maka pada saat itu juga, Punsahang Mataniari memerintahkan para pengawal untuk menjemput Sipakpakhumal dari tempatnya dan membawanya terhadap Punsahang Mataniari. Pakpakhumal sebenarnya apa yang terjadi dan sebelumnya dia menolak untuk menemui Punsahang Mataniari akan tetapi setelah dibujuk akhirnya diapun mau.
Pertemuan dengan Punsahang Mataniari beserta seluruh keluarganya sangat mengharukan. Pada saat itu akhirnya Sipakpakhumal yang sebenarnya adalah Sipiso Somalim menceritakan semua yang terjadi sejak diberangkatkan Ibunya 7 tahun yang lalu akhirnya mendapat malapetaka atas ulah licik Sipakpakhumal yang sebenarnya. Pada saat itu pamannya menyampaikan maaf yang sebenarnya atas apa yang terjadi selama 7 tahun ini.
Suasanapun berobah, suatu saat pamannya mengutarakan bahwa mereka memiliki hasrat untuk menjadikan Sipiso Somalim sebagai menantunya. Pada awalnya Sipiso Somalim menolak akan tetapi setelah dia pertimbangkan masak-masak akhirnya dia terima dan pesta perkawinanpun dilaksanakan dengan menggelar upacara adat.
Sipiso Somalim akhirnya menikah denngan putri pamannya sesuai dengan keberangkatannya untuk menemui pamannya Punsahang Mataniari 7 tahun yang silam dan pada suatu waktu dia beserta istrinya meninggalkan Rura Silindung dan kembali menemui Ibunya di kampung halamannya yaitu Kampung Uluan..

Sumber :: http://www.budaya-indonesia.org/iaci/Legenda_Sipiso_Somalim%2C_Cerita_Rakyat_Sumut

Simardan, Anak Durhaka

Berbagai kisah dan cerita tentang legenda anak durhaka. Di antaranya, Malin Kundang di Sumatera Barat yang disumpah menjadi batu, Sampuraga di Mandailing Natal Sumatera Utara yang konon katanya, berubah menjadi sebuah sumur berisi air panas. Di Kota Tanjungbalai, akibat durhaka terhadap ibunya, seorang pemuda dikutuk menjadi sebuah daratan yang dikelilingi perairan, yakni Pulau Simardan. Berbagai cerita masyarakat Kota Tanjungbalai, Simardan adalah anak wanita miskin dan yatim. Pada suatu hari, dia pergi merantau ke negeri seberang, guna mencari peruntungan.
Setelah beberapa tahun merantau dan tidak diketahui kabarnya, suatu hari ibunya yang tua renta, mendengar kabar dari masyarakat tentang berlabuhnya sebuah kapal layar dari Malaysia. Menurut keterangan masyarakat kepadanya, pemilik kapal itu bernama Simardan yang tidak lain adalah anaknya yang bertahun-tahun tidak bertemu. Bahagia anaknya telah kembali, ibu Simardan lalu pergi ke pelabuhan. Di pelabuhan, wanita tua itu menemukan Simardan berjalan bersama wanita cantik dan kaya raya. Dia lalu memeluk erat tubuh anaknya Simardan, dan mengatakan, Simardan adalah anaknya. Tidak diduga, pelukan kasih dan sayang seorang ibu, ditepis Simardan. Bahkan, tanpa belas kasihan Simardan menolak tubuh ibunya hingga terjatuh.
Walaupun istrinya meminta Simardan untuk mengakui wanita tua itu sebagai ibunya, namun pendiriannya tetap tidak berubah. Selain itu, Simardan juga mengusir ibunya dan mengatakannya sebagai pengemis.
Berasal Dari Tapanuli
Sebelum terjadinya peristiwa tersebut, Pulau Simardan masih sebuah perairan tempat kapal berlabuh. Lokasi berlabuhnya kapal tersebut, di Jalan Sentosa Kelurahan Pulau Simardan Lingkungan IV Kota Tanjungbalai, kata tokoh masyarakat di P. Simardan, H.Daem, 80, warga Jalan Mesjid P. Simardan Kota Tanjungbalai. Tanjungbalai, terletak di 20,58 LU (Lintang Utara) dan 0,3 meter dari permukaan laut. Sedangkan luasnya sekitar 6.052,90 ha dengan jumlah penduduk kurang lebih 144.979 jiwa (sensus 2003-red). Walaupun peristiwa tersebut terjadi di daerah Tanjungbalai, Daem mengatakan, Simardan sebenarnya berasal dari hulu Tanjungbalai atau sekitar daerah Tapanuli. Hal itu juga dikatakan tokoh masyarakat lainnya, Abdul Hamid Marpaung, 75, warga Jalan Binjai Semula Jadi Kota Tanjungbalai. “Daerah asal Simardan bukan Tanjungbalai, melainkan di hulu Tanjungbalai, yaitu daerah Porsea Tapanuli,” jelasnya.
Menjual Harta Karun
Dari berbagai cerita atau kisah tentang legenda anak durhaka, biasanya anak pergi merantau untuk mencari pekerjaan, dengan tujuan merubah nasib keluarga. Berbeda dengan Simardan, dia merantau ke Malaysia untuk menjual harta karun yang ditemukannya di sekitar rumahnya, kata Marpaung.
“Simardan bermimpi lokasi harta karun. Esoknya, dia pergi ke tempat yang tergambar dalam mimpinya, dan memukan berbagai macam perhiasan yang banyak,” tutur Marpaung. Kemudian, Simardan berencana menjual harta karun yang ditemukannya itu, dan Tanjungbalai merupakan daerah yang ditujunya. Karena, jelas Marpaung, berdiri kerajaan besar dan kaya di Tanjungbalai. Tapi setibanya di Tanjungbalai, tidak satupun kerajaan yang mampu membayar harta karun temuan Simardan, sehingga dia terpaksa pergi ke Malaysia. “Salah satu kerajaan di Pulau Penang Malaysialah yang membeli harta karun tersebut. Bahkan, Simardan juga mempersunting putri kerajaan itu,” ungkapnya.
Berbeda dengan keterangan Marpaung, menurut H.Daem, tujuan Simardan pergi merantau ke Malaysia untuk mencari pekerjaan. Setelah beberapa tahun di Malaysia, Simardan akhirnya berhasil menjadi orang kaya dan mempersunting putri bangsawan sebagai isterinya.
Malu
Setelah berpuluh tahun merantau, Simardan akhirnya kembali ke Tanjungbalai bersama isterinya. Kedatangannya ke Tanjungbalai, menurut Daem, untuk berdagang sekaligus mencari bahan-bahan kebutuhan. Kalau menurut Marpaung, Simardan datang ke Tanjungbalai dilandasi karena tidak memiliki keturunan. Jadi atas saran orang tua di Malaysia, pasangan suami isteri itu pergi ke Tanjungbalai. Lebih lanjut dikatakan Marpaung, berita kedatangan Simardan di Tanjungbalai disampaikan masyarakat kepada ibunya. Gembira anak semata wayangnya kembali ke tanah air, sang ibu lalu mempersiapkan berbagai hidangan, berupa makanan khas keyakinan mereka yang belum mengenal agama. “Hidangan yang disiapkan ibunya adalah makanan yang diharamkan dalam agama Islam,” tutur Marpaung. Dengan sukacita, ibu Simardan kemudian berangkat menuju Tanjungbalai bersama beberapa kerabat dekatnya. Sesampainya di Tanjungbalai, ternyata sikap dan perlakuan Simardan tidak seperti yang dibayangkannya.
Simardan membantah bahwa orang tua tersebut adalah wanita yang telah melahirkannya. Hal itu dilakukan Simardan, jelas Marpaung, karena dia malu kepada isterinya ketika diketahui ibunya belum mengenal agama. “Makanan yang dibawa ibunya adalah bukti bahwa keyakinan mereka berbeda.” Sementara menurut H. Daem, perlakuan kasar Simardan karena malu melihat ibunya yang miskin. “Karena miskin, ibunya memakai pakaian compang-comping. Akibatnya, Simardan tidak mengakui sebagai orangtuanya.”
Kera Putih dan Tali Kapal
Setelah diperlakukan kasar oleh Simardan, wanita tua itu lalu berdoa sembari memegang payudaranya. “Kalau dia adalah anakku, tunjukkanlah kebesaran-Mu,” begitulah kira-kira yang diucapkan ibu Simardan. Usai berdoa, turun angin kencang disertai ombak yang mengarah ke kapal layar, sehingga kapal tersebut hancur berantakan. Sedangkan tubuh Simardan, menurut cerita Marpaung dan Daem, tenggelam dan berubah menjadi sebuah pulau bernama Simardan.
Para pelayan dan isterinya berubah menjadi kera putih, kata Daem dan Marpaung. Hal ini disebabkan para pelayan dan isterinya tidak ada kaitan dengan sikap durhaka Simardan kepada ibunya. Mereka diberikan tempat hidup di hutan Pulau Simardan. “Sekitar empat puluh tahun lalu, masih ditemukan kera putih yang diduga jelmaan para pelayan dan isteri Simardan,” jelas Marpaung. Namun, akibat bertambahnya populasi manusia di Tanjungbalai khususnya di Pulau Simardan, kera putih itu tidak pernah terlihat lagi.
Di samping itu, sekitar tahun lima puluhan masyarakat menemukan tali kapal berukuran besar di daerah Jalan Utama Pulau Simardan. Penemuan terjadi, ketika masyarakat menggali perigi (sumur). Selain tali kapal ditemukan juga rantai dan jangkar, yang diduga berasal dari kapal Simardan, kata Marpaung. “Benar tidaknya legenda Simardan, tergantung persepsi kita. Tapi dengan ditemukannya tali, rantai dan jangkar kapal membuktikan bahwa dulu Pulau Simardan adalah perairan......”

Sumber :: http://www.budaya-indonesia.org/iaci/Simardan%2C_Anak_Durhaka%2C_Cerita_Rakyat_Sumut

Legenda Tuak

Pohon Enau dalam bahasa Indonesia disebut pohon aren, dan sugar palm atau gomuti palm dalam bahasa Inggris. Di Sumatera, tumbuhan ini dikenal dengan berbagai sebutan, di antaranya ‘nau, hanau, peluluk, biluluk, kabung, juk atau ijuk, dan bagot’. Tumbuhan ini dapat tumbuh dengan baik dan mampu mendatangkan hasil yang melimpah pada daerah-daerah yang tanahnya subur, terutama pada daerah berketinggian antara 500-800 meter di atas permukaan laut, misalnya di Tanah Karo Sumatera Utara.
Tumbuhan enau atau aren dapat menghasilkan banyak hal, yang menjadikannya populer sebagai tanaman serba-guna, setelah tumbuhan kelapa. Salah satunya adalah tuak(nira). Selain sebagai minuman sehari-hari, tuak memiliki fungsi yang sangat penting dalam kehidupan sosial-budaya bagi sebagian masyarakat Batak di Sumatera Utara, terutama yang tinggal di daerah dataran tinggi.
Dalam tradisi orang Batak, tuak juga digunakan pada upacara-upacara tertentu, seperti upacara manuan ompu-ompu dan manulangi. Pada upacara manuan ompu-ompu, tuak digunakan untuk menyiram beberapa jenis tanaman yang ditanam di atas tambak orang-orang yang sudah bercucu meninggal dunia.
Sementara dalam upacara manulangi, tuak merupakan salah satu jenis bahan sesaji yang mutlak dipersembahkan kepada arwah seseorang yang telah meninggal dunia oleh anak-cucunya. Pertanyaannya adalah kenapa tuak(nira) memiliki fungsi yang amat penting dalam kehidupan sosial-budaya orang Batak?
Menurut cerita, pohon enau merupakan jelmaan dari seorang gadis bernama Beru Sibou. Peristiwa penjelmaan gadis itu diceritakan dalam sebuah cerita rakyat yang sangat terkenal di kalangan masyarakat Tanah Karo, Sumatera Utara. Cerita itu mengisahkan tentang kesetiaan si Beru kepada abangnya, Tare Iluh. Ia tidak tega melihat penderitaan abangnya yang sedang dipasung oleh penduduk suatu negeri. Oleh karena itu, ia mencoba untuk menolongnya. Apa yang menyebabkan Abangnya, Tare Iluh, dipasung oleh penduduk negeri itu? Bagaimana cara Beru Siboau menolong abangnya?
Alkisah, pada zaman dahulu kala di sebuah desa yang terletak di Tanah Karo, Sumatera Utara, hiduplah sepasang suami-istri bersama dua orang anaknya yang masih kecil. Yang pertama seorang laki-laki bernama Tare Iluh, sedangkan yang kedua seorang perempuan bernama Beru Sibou. Keluarga kecil itu tampak hidup rukun dan bahagia.
Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama, karena sang suami sebagai kepala rumah tangga meninggal dunia, setelah menderita sakit beberapa lama. Sepeninggal suaminya, sang istri-lah yang harus bekerja keras, membanting tulang setiap hari untuk menghidupi kedua anaknya yang masih kecil. Oleh karena setiap hari bekerja keras, wanita itu pun jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia. Si Tare dan adik perempuannya yang masih kecil itu, kini menjadi anak yatim piatu. Untungnya, orang tua mereka masih memiliki sanak-saudara dekat. Maka sejak itu, si Tare dan adiknya diasuh oleh bibinya, adik dari ayah mereka.
Waktu terus berjalan. Si Tare Iluh tumbuh menjadi pemuda yang gagah, sedangkan adiknya, Beru Sibou, tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik. Sebagai seorang pemuda, tentunya Si Tare Iluh sudah mulai berpikiran dewasa. Oleh karena itu, ia memutuskan pergi merantau untuk mencari uang dari hasil keringatnya sendiri, karena ia tidak ingin terus-menerus menjadi beban bagi orang tua asuhnya.
“Adikku, Beru!” demikian si Tare Iluh memanggil adiknya.
“Ada apa, Bang!” jawab Beru.
“Kita sudah lama diasuh dan dihidupi oleh bibi. Kita sekarang sudah dewasa. Aku sebagai anak laki-laki merasa berkewajiban untuk membantu bibi mencari nafkah. Aku ingin pergi merantau untuk mengubah nasib kita. Bagaimana pendapat Adik?” tanya Tare Iluh kepada adiknya.
“Tapi, bagaimana dengan aku, Bang?” Beru balik bertanya.
“Adikku! Kamu di sini saja menemani bibi. Jika aku sudah berhasil mendapat uang yang banyak, aku akan segera kembali menemani adik di sini,” bujuk Tare kepada adiknya.
“Baiklah, Bang! Tapi, Abang jangan lupa segera kembali kalau sudah berhasil,” kata Beru mengizinkan abangnya, meskipun dengan berat hati.
“Tentu, Adikku!” kata Tare dengan penuh keyakinan.
Keesokan harinya, setelah berpamitan kepada bibi dan adiknya, si Tare Iluh berangkat untuk merantau ke negeri orang. Sepeninggal abangnya, Beru Sibou sangat sedih. Ia merasa telah kehilangan segala-segalanya. Abangnya, Tare Iluh, sebagai saudara satu-satunya yang sejak kecil tidak pernah berpisah pun meninggalkannya. Gadis itu hanya bisa berharap agar abangnya segera kembali dan membawa uang yang banyak.
Sudah berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun ia menunggu abangnya, tapi tak kunjung datang jua. Tidak ada kabar tentang keadaan abangnya. Ia tidak tahu apa yang dilakukannya di perantauan. Sementara itu, Tare Iluh di perantauan bukannya mencari pekerjaan yang layak, melainkan berjudi. Ia beranggapan bahwa dengan memenangkan perjudian, ia akan mendapat banyak uang tanpa harus bekerja keras. Tetapi sayangnya, si Tare Iluh hanya sekali menang dalam perjudian itu, yaitu ketika pertama kali main judi. Setelah itu, ia terus mengalami kekalahan, sehingga uang yang sudah sempat terkumpul pada akhirnya habis dijadikan sebagai taruhan. Oleh karena terus berharap bisa menang dalam perjudian, maka ia pun meminjam uang kepada penduduk setempat untuk uang taruhan. Tetapi, lagi-lagi ia mengalami kekalahan.
Tak terasa, hutangnya pun semakin menumpuk dan ia tidak dapat melunasinya. Akibatnya, si Tare Iluh pun dipasung oleh penduduk setempat. Suatu hari, kabar buruk itu sampai ke telinga si Beru Sibou. Ia sangat sedih dan prihatin mendengar keadaan abangnya yang sangat menderita di negeri orang. Dengan bekal secukupnya, ia pun pergi mencari abangnya, meskipun ia tidak tahu di mana negeri itu berada. Sudah berhari-hari si Beru Sibou berjalan kaki tanpa arah dan tujuan dengan menyusuri hutan belantara dan menyebrangi sungai, namun belum juga menemukan abangnya. Suatu ketika, si Beru Sibou bertemu dengan seor ang kakek tua.
“Selamat sore, Kek!”
“Sore, Cucuku!” Ada yang bisa kakek bantu?”
“Iya, Kek! Apakah kakek pernah bertemu dengan abang saya?”
“Siapa nama abangmu?”
“Tare Iluh, Kek!”
“Tare Iluh…? Maaf, Cucuku! Kakek tidak pernah bertemu dengannya. Tapi, sepertinya Kakek pernah mendengar namanya. Kalau tidak salah, ia adalah pemuda yang gemar berjudi.”
“Benar, Kek! Saya juga pernah mendengar kabar itu, bahkan ia sekarang dipasung oleh penduduk tempat ia berada sekarang.
Apakah kakek tahu di mana negeri itu?
“Maaf, Cucuku! Kakek juga tidak tahu di mana letak negeri itu. Tapi kalau boleh, Kakek ingin menyarankan sesuatu.”
“Apakah saran Kakek itu?”
“Panjatlah sebuah pohon yang tinggi. Setelah sampai di puncak, bernyanyilah sambil memanggil nama abangmu. Barangkali ia bisa mendengarnya. Setelah menyampaikan sarannya, sang Kakek pun segera pergi. Sementara si Beru Sibou, tanpa berpikir panjang lagi, ia segera mencari pohon yang tinggi kemudian memanjatnya hingga ke puncak. Sesampainya di puncak, si Beru Sibou segera bernyanyi dan memanggil-manggil abangnya sambil menangis. Ia juga memohon kepada penduduk negeri yang memasung abangnya agar sudi melepaskannya.
Sudah berjam-jam si Beru Sibou bernyanyi dan berteriak di puncak pohon, namun tak seorang pun yang mendengarnya. Tapi, hal itu tidak membuatnya putus asa. Ia terus bernyanyi dan berteriak hingga kehabisan tenaga. Akhirnya, ia pun segera mengangkat kedua tangannya dan berdoa kepada Tuhan Yang Mahakuasa.
“Ya, Tuhan! Tolonglah hambamu ini. Aku bersedia melunasi semua hutang abangku dan merelakan air mata, rambut dan seluruh anggota tubuhku dimanfaatkan untuk kepentingan penduduk negeri yang memasung abangku.”
Baru saja kalimat permohonan itu lepas dari mulut si Beru Sibou, tiba-tiba angin bertiup kencang, langit menjadi mendung, hujan deras pun turun dengan lebatnya diikuti suara guntur yang menggelegar. Sesaat kemudian, tubuh si Beru Sibou tiba-tiba menjelma menjadi pohon enau. Air matanya menjelma menjadi tuak atau nira yang berguna sebagai minuman. Rambutnya menjelma menjadi ijuk yang dapat dimanfaatkan untuk atap rumah. Tubuhnya menjelma menjadi pohon enau yang dapat menghasilkan buah kolang-kaling untuk dimanfaatkan sebagai bahan makanan atau minuman.
Demikianlah cerita “Kisah Pohon Enau” dari daerah Sumatera Utara. Hingga kini, masyarakat Tanah Karo meyakini bahwa pohon enau adalah penjelmaan si Beru Sibou. Untuk mengenang peristiwa tersebut, penduduk Tanah Karo pada jaman dahulu setiap ingin menyadap nira, mereka menyanyikan lagu enau.
Cerita di atas termasuk ke dalam cerita rakyat teladan yang mengandung pesan-pesan moral. Di antara pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah memupuk sifat tenggang rasa dan menjunjung tinggi persaudaraan, serta akibat buruk dari suka bermain judi. sifat tenggang rasa. Sifat ini tercermin pada sifat Beru Sibou yang sangat menjunjung tinggi tenggang rasa dan persaudaraan. Ia rela mengorbankan seluruh jiwa dan raganya dengan menjelma menjadi pohon yang dapat dimanfaatkan orang-orang yang telah memasung abangnya. Hal ini dilakukannya demi membebaskan abangnya dari hukuman pasung yang telah menimpa abangnya tersebut. Sifat tenggang rasa dan persaudaran yang tinggi ini patut untuk dijadikan suri teladan dalam kehidupan sehari-hari..

Sumber :: http://www.budaya-indonesia.org/iaci/Legenda_Tuak%2C_Cerita_Rakyat_Sumut

Sampuraga Anak Durhaka

Alkisah, pada zaman dahulu kala di daerah Padang Bolak, hiduplah di sebuah gubuk reot seorang janda tua dengan seorang anak laki-lakinya yang bernama Sampuraga. Meskipun hidup miskin, mereka tetap saling menyayangi. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, mereka setiap hari bekerja sebagai tenaga upahan di ladang milik orang lain. Keduanya sangat rajin bekerja dan jujur, sehingga banyak orang kaya yang suka kepada mereka.
Pada suatu siang, Sampuraga bersama majikannya beristirahat di bawah sebuah pohon yang rindang setelah bekerja sejak pagi. Sambil menikmati makan siang, mereka berbincang-bincang dalam suasana akrab. Seakan tidak ada jarak antara majikan dan buruh.
“Wahai, Sampuraga! Usiamu masih sangat muda. Kalau boleh saya menyarankan, sebaiknya kamu pergi ke sebuah negeri yang sangat subur dan peduduknya hidup makmur,” kata sang Majikan.
“Negeri manakah yang Tuan maksud?” tanya Sampuraga penasaran.
“Negeri Mandailing namanya. Di sana, rata-rata penduduknya memiliki sawah dan ladang. Mereka juga sangat mudah mendapatkan uang dengan cara mendulang emas di sungai, karena tanah di sana memiliki kandungan emas,” jelas sang Majikan. Keterangan sang Majikan itu melambungkan impian Sampuraga.
“Sebenarnya, saya sudah lama bercita-cita ingin pergi merantau untuk mencari pekerjaan yang lebih baik. Saya ingin membahagiakan ibu saya,” kata Sampuraga dengan sungguh-sungguh.
“Cita-citamu sangat mulia, Sampuraga! Kamu memang anak yang berbakti” puji sang Majikan.
Sepulang dari bekerja di ladang majikannya, Sampuraga kemudian mengutarakan keinginannya tersebut kepada ibunya.
“Bu, Raga ingin pergi merantau untuk mencari pekerjaan yang lebih baik. Raga ingin mengubah nasib kita yang sudah lama menderita ini,” kata Sampuraga kepada ibunya.
“Ke manakah engkau akan pergi merantau, anakku?” tanya ibunya.
“Ke negeri Mandailing, bu. Pemilik ladang itu yang memberitahu Raga bahwa penduduk di sana hidup makmur dan sejahterta, karena tanahnya sangat subur,” jelas Sampuraga kepada ibunya.
“Pergilah, anakku! Meskipun ibu sangat khawatir kita tidak bisa bertemu lagi, karena usia ibu sudah semakin tua, tapi ibu tidak memiliki alasan untuk melarangmu pergi. Ibu minta maaf, karena selama ini ibu tidak pernah membahagiakanmu, anakku” kata ibu Sampuraga dengan rasa haru.
“Terima kasih, bu! Raga berjanji akan segera kembali jika Raga sudah berhasil. Doakan Raga, ya bu!“ Sampuraga meminta doa restu kepada ibunya.
“Ya, anakku! Siapkanlah bekal yang akan kamu bawa!” seru sang ibu.
Setelah mendapat doa restu dari ibunya, Sampuraga segera mempersiapkan segala sesuatunya.
Keesokan harinya, Sampuraga berpamitan kepada ibunya. “Bu, Raga berangkat! Jaga diri ibu baik-baik, jangan terlalu banyak bekerja keras!” saran Sampuraga kepada ibunya.
Berhati-hatilah di jalan! Jangan lupa cepat kembali jika sudah berhasil!” harap sang ibu.
Sebelum meninggalkan gubuk reotnya, Sampuraga mencium tangan sang Ibu yang sangat disayanginya itu. Suasana haru pun menyelimuti hati ibu dan anak yang akan berpisah itu. Tak terasa, air mata keluar dari kelopak mata sang Ibu. Sampuraga pun tidak bisa membendung air matanya. Ia kemudian merangkul ibunya, sang Ibu pun membalasnya dengan pelukan yang erat, lalu berkata: “Sudahlah, Anakku! Jika Tuhan menghendaki, kita akan bertemu lagi,” kata sang Ibu.
Setelah itu berangkatlah Sampuraga meninggalkan ibunya seorang diri. Berhari-hari sudah Sampuraga berjalan kaki menyusuri hutan belantara dan melawati beberapa perkampungan. Suatu hari, sampailah ia di kota Kerajaan Pidoli, Mandailing. Ia sangat terpesona melihat negeri itu. Penduduknya ramah-tamah, masing-masing mempunyai rumah dengan bangunan yang indah beratapkan ijuk. Sebuah istana berdiri megah di tengah-tengah keramaian kota. Candi yang terbuat dari batu bata terdapat di setiap sudut kota. Semua itu menandakan bahwa penduduk di negeri itu hidup makmur dan sejahtera.
Di kota itu, Sampuraga mencoba melamar pekerjaan. Lamaran pertamanya pun langsung diterima. Ia bekerja pada seorang pedagang yang kaya-raya. Sang Majikan sangat percaya kepadanya, karena ia sangat rajin bekerja dan jujur. Sudah beberapa kali sang Majikan menguji kejujuran Sampuraga, ternyata ia memang pemuda yang sangat jujur. Oleh karena itu, sang Majikan ingin memberinya modal untuk membuka usaha sendiri. Dalam waktu singkat, usaha dagang Sampuraga berkembang dengan pesat. Keuntungan yang diperolehnya ia tabung untuk menambah modalnya, sehingga usahanya semakin lama semakin maju. Tak lama kemudian, ia pun terkenal sebagai pengusaha muda yang kaya-raya.
Sang Majikan sangat senang melihat keberhasilan Sampuraga. Ia berkeinginan menikahkan Sampuraga dengan putrinya yang terkenal paling cantik di wilayah kerajaan Pidoli.
“Raga, engkau adalah anak yang baik dan rajin. Maukah engkau aku jadikan menantuku?” tanya sang Majikan.
“Dengan senang hati, Tuan! Hamba bersedia menikah dengan putri Tuan yang cantik jelita itu,” jawab Sampuraga.
Pernikahan mereka diselenggarakan secara besar-besaran sesuai adat Mandailing. Persiapan mulai dilakukan satu bulan sebelum acara tersebut diselenggarakan. Puluhan ekor kerbau dan kambing yang akan disembelih disediakan. Gordang Sambilan dan Gordang Boru yang terbaik juga telah dipersiapkan untuk menghibur para undangan.
Berita tentang pesta pernikahan yang meriah itu telah tersiar sampai ke pelosok-pelosok daerah. Seluruh warga telah mengetahui berita itu, termasuk ibu Sampuraga. Perempuan tua itu hampir tidak percaya jika anaknya akan menikah dengan seorang gadis bangsawan, putri seorang pedagang yang kaya-raya.
“Ah, tidak mungkin anakku akan menikah dengan putri bangsawan yang kaya, sedangkan ia adalah anak seorang janda yang miskin. Barangkali namanya saja yang sama,” demikian yang terlintas dalam pikiran janda tua itu.
Walaupun masih ada keraguan dalam hatinya, ibu tua itu ingin memastikan berita yang telah diterimanya. Setelah mempersiapkan bekal secukupnya, berangkatlah ia ke negeri Mandailing dengan berjalan kaki untuk menyaksikan pernikahan anak satu-satunya itu. Setibanya di wilayah kerajaan Pidoli, tampaklah sebuah keramaian dan terdengar pula suara Gordang Sambilan bertalu-talu. Dengan langkah terseok-seok, nenek tua itu mendekati keramaian. Alangkah terkejutnya, ketika ia melihat seorang pemuda yang sangat dikenalnya sedang duduk bersanding dengan seorang putri yang cantik jelita. Pemuda itu adalah Sampuraga, anak kandungnya sendiri.
Oleh karena rindu yang sangat mendalam, ia tidak bisa menahan diri. Tiba-tiba ia berteriak memanggil nama anaknya.
Sampuraga sangat terkejut mendengar suara yang sudah tidak asing di telinganya. “Ah, tidak mungkin itu suara ibu,” pikir Sampuraga sambil mencari-cari sumber suara itu di tengah-tengah keramaian. Beberapa saat kemudian, tiba-tiba seorang nenek tua berlari mendekatinya.
“Sampuraga…Anakku! Ini aku ibumu, Nak!” seru nenek tua itu sambil mengulurkan kedua tangannya hendak memeluk Sampuraga.
Sampuraga yang sedang duduk bersanding dengan istrinya, bagai disambar petir. Wajahnya tiba-tiba berubah menjadi merah membara, seakan terbakar api. Ia sangat malu kepada para undangan yang hadir, karena nenek tua itu tiba-tiba mengakuinya sebagai anak.
“Hei, perempuan jelek! Enak saja kamu mengaku-ngaku sebagai ibuku. Aku tidak punya ibu jelek seperti kamu! Pergi dari sini! Jangan mengacaukan acaraku!”, hardik Sampuraga.
“Sampuragaaa…, Anakku! Aku ini ibumu yang telah melahirkan dan membesarkanmu. Kenapa kamu melupakan ibu? Ibu sudah lama sekali merindukanmu. Rangkullah Ibu, Nak!” Iba perempuan tua itu.
“Tidak! Kau bukan ibuku! Ibuku sudah lama meninggal dunia. Algojo! Usir nenek tua ini!” Perintah Sampuraga.
Hati Sampuraga benar-benar sudah tertutup. Ia tega sekali mengingkari dan mengusir ibu kandungnya sendiri. Semua undangan yang menyaksikan kejadian itu menjadi terharu. Namun, tak seorang pun yang berani menengahinya.
Perempuan tua yang malang itu kemudian diseret oleh dua orang sewaan Sampuraga untuk meninggalkan pesta itu. Dengan derai air mata, perempuan tua itu berdoa: “Ya, Tuhan! Jika benar pemuda itu adalah Sampuraga, berilah ia pelajaran! Ia telah mengingkari ibu kandungnya sendiri
Seketika itu juga, tiba-tiba langit diselimuti awan tebal dan hitam. Petir menyambar bersahut-sahutan. Tak lama kemudian, hujan deras pun turun diikuti suara guntur yang menggelegar seakan memecah gendang telinga. Seluruh penduduk yang hadir dalam pesta berlarian menyelamatkan diri, sementara ibu Sampuraga menghilang entah ke mana. Dalam waktu singkat, tempat penyelenggaraan pesta itu tenggelam seketika. Tak seorang pun penduduk yang selamat, termasuk Sampuraga dan istrinya.
Beberapa hari kemudian, tempat itu telah berubah menjadi kolam air yang sangat panas. Di sekitarnya terdapat beberapa batu kapur berukuran besar yang bentuknya menyerupai kerbau. Selain itu, juga terdapat dua unggukan tanah berpasir dan lumpur warna yang bentuknya menyerupai bahan makanan. Penduduk setempat menganggap bahwa semua itu adalah penjelmaan dari upacara pernikahan Sampuraga yang terkena kutukan. Oleh masyarakat setempat, tempat itu kemudian diberi nama “Kolam Sampuraga”. Hingga kini, tempat ini telah menjadi salah satu daerah pariwisata di daerah Mandailing yang ramai dikunjungi orang.
Cerita di atas termasuk cerita rakyat teladan yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan suri teladan dalam kehidupan sehari-hari. Setidaknya ada tiga pesan moral yang dapat diambil sebagai pelajaran dari cerita di atas, yaitu: sifat rajin bekerja, sifat jujur dan sifat durhaka terhadap orang tua. Ketiga sifat tersebut tercermin pada sifat dan perilaku Sampuraga.

sumber :: http://www.budaya-indonesia.org/iaci/Sampuraga%2C_Cerita_Rakyat_Sumut

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls